Mengapa Para Guru Besar Kecewa Pada Jokowi Di Akhir Masa Jabatan ?


Ada beberapa alasan mengapa para guru besar di beberapa universitas menyampaikan kekecewaan pada sosok Jokowi saat masa kampanye 2024:

1. Ketidakpuasan terhadap kinerja Jokowi:

Isu ekonomi: Beberapa guru besar menyoroti lambatnya pemulihan ekonomi pasca pandemi, tingginya angka pengangguran, dan kesenjangan ekonomi yang masih lebar. Isu penegakan hukum: Kekecewaan juga diutarakan terkait dengan pelemahan KPK, revisi UU KPK, dan kasus-kasus korupsi yang masih marak. Isu demokrasi: Kekhawatiran disampaikan terkait dengan isu-isu seperti intoleransi, polarisasi politik, dan penyebaran hoaks.

2. Ketidakpercayaan terhadap janji-janji Jokowi:

Janji-janji yang belum terpenuhi: Para guru besar mengingatkan kembali janji-janji Jokowi di periode sebelumnya yang belum terpenuhi, seperti Nawacita dan Trisakti. Ketidakjelasan visi dan misi: Kekecewaan juga disampaikan terkait dengan visi dan misi Jokowi untuk periode kedua yang dianggap kurang jelas dan konkret.

3. Ketidaktegasan Jokowi dalam memimpin:

Dinilai mudah dipengaruhi: Beberapa guru besar menilai Jokowi mudah dipengaruhi oleh oligarki dan kepentingan politik tertentu. Kurangnya komunikasi: Kekecewaan juga disampaikan terkait dengan kurangnya komunikasi Jokowi dengan publik dan akademisi.

4. Ketidakberpihakan Jokowi pada kelompok minoritas:

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas: Para guru besar menyoroti isu-isu seperti diskriminasi terhadap kelompok minoritas, pelanggaran HAM, dan intoleransi. Kurangnya perhatian terhadap pendidikan dan kebudayaan: Kekecewaan juga disampaikan terkait dengan kurangnya perhatian Jokowi terhadap pendidikan dan kebudayaan.

5. Ketidakcocokan Jokowi dengan nilai-nilai akademisi:

Nilai-nilai demokrasi: Para akademisi mengedepankan nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Nilai-nilai Pancasila: Kekecewaan disampaikan terkait dengan nilai-nilai Pancasila yang dianggap kurang diimplementasikan oleh Jokowi. Perlu dicatat bahwa tidak semua guru besar di Indonesia kecewa dengan Jokowi. Ada juga yang mendukung Jokowi dan menilai bahwa kinerjanya selama periode pertama sudah cukup baik.

Kekecewaan para guru besar ini merupakan bagian dari demokrasi dan merupakan hak mereka untuk menyampaikan pendapatnya.

Seruang Kebangsaan Menguat Di Akhir Masa Jabatan Jokowi



dilansir dari berita hukum online , Civitas UI dan Unhas Warning Atas Hancurnya Tatanan Hukum dan Demokrasi Mengutuk semua tindakan yang menindas kebebasan berekspresi. Menuntut semua ASN, pejabat pemerintah, TNI dan Polri bebas dari paksaan untuk memenangkan salah satu pasangan calon tertentu.

Berbagai civitas akademika dari sejumlah perguruan tinggi telah menyampaikan sikap terkait perkembangan politik dan hukum yang terjadi jelang pemilu 2024. Civitas akademik Universitas Gadjah Mada (UGM) secara lugas dalam Petisi Bulaksumur menilai tindakan Presiden Jokowi menyimpang dari prinsip demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi Pancasila.

Begitu juga civitas akademik Universitas Islam Indonesia (UII) yang menilai sikap kenegarawanan Presiden Jokowi pudar dengan indikator utama pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang berdasarkan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023.

Giliran civitas akademika Universitas Indonesia (UI) tak ketinggalan menyampaikan pernyataan sikap serupa. Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan kalangan guru besar, dosen dan warga UI secara umum menyatakan seruan ‘Kampus Perjuangan’, yakni kampus UI. Perguruan Tinggi Negeri UI sebagai lembaga yang menjadi mata air bagi masyarakat. Pengetahuan yang dihasilkan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, bukan hanya kelompok elit.

Guru Besar Hukum Pidana itu menyatakan UI merupakan kampus perjuangan yang melahirkan para petarung yang berdiri paling depan menghadapi peristiwa berat bangsa Indonesia. Bahkan ada yang menumpahkan darah seperti Arif Rahman Hakim tahun 1966 dan Yap Yun Hap di tahun 1998. Tak terhitung ‘petarung’ beralmamater UI yang ditangkap dan dipenjara di pengadilan sekitar tahun 1974-1978 yang menolak penguasa otoriter.

Kendati seolah tenggelam dalam kerja akademik di ruang kelas, seminar, laboratorium, tumpukan buku, menulis gagasan di ujung pena tapi civitas akademika UI tetap mengawal hidup demokrasi dan kodrat kedaulatan tetap di tangan rakyat. Perempuan yang disapa Prof Tuti itu mencatat dalam 5 tahun terakhir terutama jelang pemilu 2024 civitas akademika UI terpanggil memulihkan demokrasi yang terkoyak. Indonesia seperti kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perbuatan kuasa, nihil etika, yang menggerus keluhuran budaya dan kesejatian moral bangsa.

“Kami warga (civitas akademika) dan alumni UI prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi. Hilangnya etika bernegara dan bermasarakat terutama korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah menghancurkan kemanusiaan dan merampas akses keadilan,” kata Prof Tuti membacakan pernyataan sikap civitas akademika UI bertema Seruan Kebangsaan, di Depok, Jawa Barat, (02/02/2024).

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post