Masuk Tahun Politik Waspadai Post-truth Sebagai Upaya Permusuhan

Indonesia saat ini tahun 2023-2024 masuk pada periode pemilu, hajatan demokrasi yang berlangsung setiap lima tahun sekali. namun dibalik cerita setiap pemilu polarisasi di tengah masyarakat selalu terjadi, entah dibangun atau alamiah, namun faktanya banyak para paslon menggiring opini untuk membangun persepsi tentang sesuatu sehingga dianggap benar oleh khalayak. 

dari kejadian seperti itu munculah istilah "post-truth", Istilah "post-truth" mengacu pada situasi di mana keputusan publik tidak lagi sangat dipengaruhi oleh fakta objektif, tetapi lebih oleh emosi, keyakinan, dan narasi yang dapat memanipulasi persepsi. Dalam konteks ini, "post-truth" menunjukkan bahwa kebenaran objektif menjadi kurang penting atau bahkan diabaikan dalam pembentukan opini dan keputusan masyarakat.

Fenomena ini sering kali terkait dengan penyebaran informasi palsu atau disinformasi di media sosial dan platform daring, di mana narasi yang kuat atau emosional dapat menyebar lebih cepat daripada fakta yang diverifikasi. Dalam lingkungan post-truth, orang cenderung lebih terpengaruh oleh apa yang mereka ingin percayai atau apa yang sesuai dengan pandangan mereka daripada oleh fakta yang dapat diverifikasi. sehingga dilapangan terbangunlah isu untuk melemahkan pasangan lainnya, melalui berbagai isu, entah itu isu ideologi, isu HAM dan isu-isu lainnya, yang tentu saja ini merugikan salah satu paslon. 

Konsep "post-truth" juga terkait dengan isu-isu seperti polarisasi politik dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga tradisional, termasuk media, ilmu pengetahuan, dan pemerintah. Beberapa menganggap bahwa fenomena ini dapat merusak demokrasi dan proses pengambilan keputusan yang berbasis pada fakta dan data.

Istilah ini menjadi semakin populer dalam konteks politik dan media pada awal abad ke-21, dan banyak perdebatan dan penelitian telah muncul untuk memahami dampaknya terhadap masyarakat dan kehidupan politik. berikut teori post truth menurut beberapa ahli ; 

Post Truth

(Keyes, 2004) menuliskan dalam bukunya bahwa era "post-truth," fakta-fakta tidak lagi dianggap sebagai pedoman mutlak dalam diskusi publik. Sebaliknya, emosi, keyakinan, dan narasi sering kali lebih berpengaruh dalam memengaruhi pendapat publik. 

(D'Ancona, 2017) berpendapat bahwa di era post-truth, fakta sering kali diabaikan atau diputarbalikkan untuk mendukung agenda politik atau ideologi tertentu.

(Cover et al., 2022) dalam bukunya menjelaskan bahwa berita palsu dalam bentuk kontemporer, muncul sebagai sebuah konsep, topik, dan isu sosial terjadi pada pertengahan tahun 2010-an. Sebelumnya tentu saja sudah ada konsep komunikasi palsu, kebohongan, propaganda, dan bias media. yang kemudian sering dikaitkan dengan media dan bentuk komunikasi utama yang sedang berkembang saat ini. peredaran berita palsu sebagai materi online saat ini baik sebagai disinformasi yang disengaja atau secara tidak sengaja dipercaya dan dibagikan kepada khalayak sebagai miss informasi dan diketahui secara luas mempunyai dampak yang serius dan problematis terhadap cara kita kondisi dan situasi saat itu. 

(Allcott & Gentzkow, 2017) beberapa waktu lalu memperingatkan, berita palsu semacam apa yang disebut “kebakaran hutan digital”, yaitu informasi tidak lagi dapat diandalkan yang menyebar secara online (berita palsu) merupakan sebagai salah satu ancaman terbesar yang tengah dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat.

(Grech, 2021) Pada masa modernitas yang berubah-ubah, pasca-kebenaran yang menolak kebenaran merusak landasan demokrasi. 

(Sonta, 2018) menyampaikan setidaknya ada enam prasyarat untuk mengantarkan gagasan dan kebenaran semu bagi berlangsungnya konflik sosial. (i) Ada isu-kritikal (commonly problematized) dari para pihak yang berbeda kepentingan. (ii) Ada inkompatibilitas harapan atau kepentingan yang saling terkorelasi. (iii) Gunjingan, hasutan dan fitnah. (iv) Ada persaingan dan ketegangan psiko-sosial yang dipelihara oleh kelompok berbeda kepentingan. (v) berikutnya masuk pada masa kematangan untuk perpecahan, yang kemudian diakhiri pertikaian yang bisa disertai dengan violence (kerusakan dan kekacauan).

Post Truth semakin cepat terbangun karena salah satunya diakselerasi oleh teknologi yakni media sosial, maraknya platform media sosial saat ini dijadikan alat yang efektif dan murah dalam membentuk opini. Daya tular dan daya sebar yang diakibatkan oleh media sosial sangat cepat, hanya perlu hitungan menit dan jam untuk butuh menjadi viral dan tranding topik. belum lagi dampak kehadiran media sosial yang sesungguhnya menurunkan minat baca / literasi masyarakat semakin mempermudah menggiring persepsi masyarakat sesuai dengan siperancang. 

Bijak Di Era Post-Truth

Mengantisipasi di era post-truth memerlukan upaya bersama untuk mempromosikan literasi informasi, transparansi, dan kritisisme dalam masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam era post-truth:

Pendidikan Literasi Informasi:

Mendorong pendidikan literasi informasi di sekolah-sekolah dan komunitas untuk membekali orang dengan keterampilan kritis dalam menilai informasi.

  • Memahamkan perbedaan antara fakta, opini, dan interpretasi.
  • Memberikan pelatihan pada cara mengidentifikasi informasi palsu atau disinformasi.
Promosi Transparansi:

  • Mendorong transparansi dalam lembaga-lembaga publik dan swasta untuk membangun kepercayaan masyarakat.
  • Menyediakan akses yang lebih baik terhadap informasi dan data yang dapat diverifikasi.
Penguatan Media Independen:

  • Mendukung media independen dan jurnalisme berkualitas.
  • Mendorong transparansi dan etika dalam peliputan berita.
Penekanan pada Pendidikan Kritis:

  • Meningkatkan pendidikan kritis dalam kurikulum pendidikan, termasuk keterampilan berpikir kritis dan analisis.
  • Memberikan dukungan untuk inisiatif yang mempromosikan kritisisme dan penelitian mandiri.

Penguatan Komunitas Online:

  • Membangun komunitas online yang mendukung pertukaran informasi yang benar dan positif.
  • Memfasilitasi diskusi yang sehat dan berdasarkan bukti.

Regulasi Media Sosial:

  • Mendorong regulasi yang lebih ketat terhadap penyebaran informasi palsu di platform media sosial.
  • Memastikan transparansi dalam algoritma yang menentukan tampilan konten.
  • Walaupun pada sisi ini pemerintah selalu gagal bernegosiasi dengan paltform yang beredar akses di Indonesia

Kerjasama Lembaga Pemerintah, Pendidikan dan Swasta:

  • Menggalang dukungan dari lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan perusahaan swasta untuk bersama-sama mengatasi masalah post-truth.
  • Peran dunia pendidikan salah satunya universitas sangat penting untuk mengajak masyarakat meningkatkan literasi dan kesadaran serta kedewasaan politik, hal tersebut dapat dilakukan dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat

Keterlibatan Masyarakat:

  • Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokratis.
  • Mempromosikan dialog terbuka dan konstruktif.
Menghadapi era post-truth memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan masyarakat secara keseluruhan. 

Penulis 
Yono Maulan, Medio 26 Nov 2023


Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post