Kebiasaan Belanja Online dan Masyarakat Berantem Ternyata Karena Ini !

 


Pernah tidak kalian scrolling facebook, instagram, twitter dan jaringan media sosial lainnya, terus kalian klik like dan ikutan komentar bahkan menyebarluaskan dengan cara klik share ? jawabannya pasti pernah kan ? terus pernah ngga sih kalian saat buka hp atau buka google kok tiba-tiba di feeb atau admob kok muncul iklan yang sesuai dengan yang dicari, atau yang pernah dibicarakan sebelumnya ? jawabannya pasti pernah ! 

terus pernah ga kalian berkeinginan terhadap satu barang, tapi karena kemiskuinan masih menyelimuti kantong cuma bisa liat liat aja :) celakanya iklan terus terusan nawarin produk yang sama di hp, di leptop dan diseluruh jaringan sosial media kalian nongol terus, semakin sering nongol, jiwa miskin kalian semakin meronta kan ? semakin besar keinginan untuk memilikinya. alhasil... cari deh duit kesana kemari, eh ada program paylater itu bahasa kerennya, bahasa kampungnya progam hutangan alisan bank emok digital ! ya sudah daripada kebawa mimpi, makan ga enak, tidur ga nyenyak, akhirnya beli deh dari program hutangan online atau disebut paylater, banyak ya sekarang market place atau tempat jualan yang menyediakan sekalian hutangannya hehehe, jadi mempermudah kita untuk belanja dan mempermudah kita juga jadi buronan fintech alisan kreditor oline yang sadis kalo nagih. 

okey disini saya tidak akan bahasa paylater atau fintech nya ya, tapi kita akan bahas, apa sih sebetulnya yang membuat jaringan sosial media dan mesin pencarian kita selalu seolah-olah mengerti kebutuhan kita ? kenapa prilakunya kok bisa sama dan tahu akan kebutuhan dan kemauan kita ? 

saya sering menyampaikan kepada mahasiswa di kelas, ingat! teknologi selalu meninggalkan jejak, saat jejakmu tertinggal maka itu akan dihimpun dan dibaca, dianalisa sampai akhirnya mesin akan dapat menyimpulkan siapa dirimu ! wuih.. ngeri ya? lah emang iya, makanya bijak pake teknologi ya.. 

jadi... sebetulnya semua mesin dan aplikasi yang kita gunakan pasti menggunakan algoritma, dimana mereka memiliki seperangkat alat yang canggih, mulai dari penyimpanan yang super besar untuk mencatat aktivitas kita, dari apa yang pernah kita tulis, kita ucapkan, kita unggah, kita like, kita komen, what ever lah pokonyamah.. nah ini dijadikan sebagai peluang tersendiri oleh para raja penguasa teknologi seperti google, facebook dan kawan kawannya. apa sih itu namanya ???? 

Filter Bubble

ya ! filter bubble, ini apa sih ? filter berbentuk gelembung gitu ? wait wait, coba kita tanya para ahli dulu definisinya ya.. 

Filter bubble adalah sebuah algoritma sistem yang memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan konten serupa sesuai dengan perilakunya ketika menggunakan layanan internet dan web
. Contoh perilaku tersebut adalah dengan menyukai sebuah postingan, share, comment, klik link tertentu, hingga history pencarian pengguna. Algoritma ini banyak ditemukan dalam media sosial, Pariser (2011b)

Pendapat lain dikemukakan oleh Hartono (2018), ia mengatakan bahwa filter bubble adalah algoritma yang sebenarnya diciptakan untuk memudahkan pencarian di media sosial (khususnya facebook) dan membantu pengiklan menyasar target pasarnya. Pendapat tersebut didukung oleh Haim dkk (2018), yang menyatakan bahwa filter gelembung menunjukkan bahwa, alih-alih memastikan keberagaman, algoritma ini sebenarnya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi media.

Menurut Geschke, Lorenz, dan Holtz (2019), filter bubble didefinisikan sebagai hasil dari proses yang berbeda pada pencarian informasi, persepsi, seleksi, dan meluapnya informasi. Berbagai informasi yang muncul merupakan hasil relevansi dengan topik yang dicari dan konteks permasalahan yang dihadapi. Filter bubble dapat dikatakan sebagai jalan keluar untuk membatasi informasi yang melimpah. Hal ini sejalan dengan Pariser (2011b) yang menyatakan bahwa filter bubble ini adalah alat buatan yang sebenarnya memberikan kita lingkungan informasi yang sangat relevan dengan masalah apa pun yang sedang kita kerjakan. Maka dalam segala aspek algoritma ini konsisten dengan tujuan dan fungsinya untuk menghubungkan pengguna dengan informasi yang diharapkan melalui penawaran beberapa item dengan aliran konten yang relevan (Rader 7 Gray, 2015).

nah itulah penjelasannya menurut para ahli ya, intinya, kenapa internet begitu memahami perilaku kita dibandingan pacar atau mantan ? itu dikarenakan algoritma filter bubble yang di rancang oleh para pengembang teknologi agar dapat membatasi informasi yang melimpah, intinya biar lu lu lu pada ga bingung kebanyakan informasi ! 

selain filter bubble yang menggiring kita ke hal hal yang kita inginkan saja, ternyata ada mahluk lain juga yang disebut Echo Chamber kira kira artinya apa ya, echo bergema, chamber ruang, jadi disebut Ruang Bergema ! emang ketutup ya ruangannya ? ga ada barang lain gitu ? hehehe tenang tenang ini bukan ruang gedung juga, tapi ya mirip mirip sih, kenapa disebut echo chamber karena melulu hanya suara kita, hanya informasi yang kita inginkan yang muncul. 



Echo Chamber

mari kita tanya ahlinya ahli, core of the core, apa sih echo chamber ?  

Dilansir dari GCFLearn (2019), echo chamber atau ruang bergema adalah adalah lingkungan di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri. Ruang bergema ini dapat ditemukan baik di dunia nyata maupun dunia maya. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi dan makin populernya media sosial sebagai tempat mengeluarkan pendapat secara bebas, maka echo chamber kini dapat lebih mudah ditemukan di media sosial. Terjadinya echo chamber di media sosial maupun internet itu sendiri justru semakin dimudahkan dengan kinerja algoritma sistem internet, seperti yang sudah dijelaskan pada poin sebelumnya, penyebab maraknya echo chamber di media online adalah algoritma filter bubble.

Jika ditarik ke sudut pandang yang lebih luas, sebenarnya hubungan antara filter bubble dan ruang bergema tersebut terjadi layaknya efek domino. Algoritma akan memberi pengguna topik yang mereka sukai (sesuai dengan like, klik, search, comment, dan share yang dilakukan pengguna sebelumnya), lalu mengumpulkannya dengan pengguna lain yang memiliki opini atau topik kesukaan serupa. Ketika mereka sudah berada pada satu lingkup yang sama, maka hal tersebut sudah menjadi cikal bakal fenomena echo chamber.

Fenomena echo chamber akan menjadi nyata ketika mereka mengemukakan pendapat mereka secara terus menerus, dan mereka percaya bahwa itu benar, padahal apa yang mereka kemukakan hanya berputar-putar saja di lingkup mereka sendiri. Mirisnya, sistem bahkan membantu mereka untuk menghilangkan atau menyembunyikan topik yang bertentangan dengan apa yang mereka sukai. Hal tersebut didukung oleh pendapat Wisnuhardana (2018) yang menyatakan bahwa fenomena echo chamber memungkinkan untuk bagi setiap individu untuk saling mengisi dengan individu lain yang memiliki pandangan, sikap, preferensi yang sama atas suatu topik dan objek. Jika suatu topik memiliki dua pilihan ekstrem, maka masing-masing individu akan cenderung untuk menegaskan, menguatkan,

dengan pandangan mereka. Hal tersebut sesuai dengan pandangan (Nguyen, 2020) yang menyatakan bahwa echo chamber adalah alat yang sangat baik dan mendukung dalam mempertahankan, memperkuat, dan memperluas kekuatan melalui konteks epistemik.

Hal tersebut berhubungan dengan polarisasi pendapat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, polarisasi adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan, dan sebagainya) yang berlawanan. Jadi, polarisasi pendapat adalah pembagian dua kelompok orang berdasarkan pendapat mereka yang saling berlawanan. Menurut Wilson (2005) polarisasi dapat terjadi karena komitmen yang kuat terhadap suatu budaya, ideologi atau kandidat sehingga memecah suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Polarisasi membuat suatu kelompok menganggap pandangan dan prinsipnyalah yang paling benar, sedangkan kelompok yang berseberangan adalah kelompok yang salah pandangan politik dan moralitasnya. Pembagian ini jika dihubungkan dengan ruang gema akan menyebabkan fanatisme berlebih dari masing- masing kubu. Sehingga pengaruh polarisasinya lebih signifikan lagi kepada pengguna di internet. Bahkan bisa berakibat pula pada terpecahnya kubu sosial di masyarakat

pengaruh echo chamber dapat mematikan kretivitas, membuat seseorang menjadi berpikuran sempit, dan memicu bias kognitif (kesalahan otak dalam berprilaku akan suatu topik)

Dampak Buruk Filter Bubble & Echo Chamber

filter bubble sebetulnya memiliki tujuan yang baik diantaranya adalah ;

  1. sistem akan semakin mengenal penggunanya
  2. membatasi informasi yang terlalu besar
  3. membantu menemukan konten yang mereka sukai
  4. dan sebagainya masih banyak lah... 
tapi sodara-sodara tujuan yang baik tidak selalu menghasilkan yang baik ada saja dampak negatifnya, dampak negatifnya adalah ; 
  1. memperkuat segregasi ideologis artinya .. pemisahan, dibeda bedakan secara kepercayaan dan sebagainya kurang lebih begitu lah. 
  2. menutup mata akan topik lainnya, pokoknya gue suka ini, bodo amat yang lainnya ! 
  3. hanya mengikuti yang dia suka, celakanya dia ga percaya informasi lain yang dia tidak suka, gawat kan... 
  4. berpotensi kehilangan fleksibiltas mental, nah loh 
  5. hilangnya kemandirian berfikir, waduh... 
  6. dan sebagainya, sebagainya... cari sendiri ya... 
Sering Belanja Tidak Direncanakan
nah.. kalo ini biasanya penyakit perempuan nih, yang jiwa miskinnya masih kuat, ga tahan liat diskonan, tiap hari mantengin live tiktok, buat liat liat barang murah padahal ga butuh ! hayoo siapa ??? ngaku! 

seorang suami mencoba mengingatkan isteri, udah dong main hapenya, jangan tiktokan mulu tiap hari, tiktok berhenti eh drakor dia pantengin, ada ngga yang sama kisahnya seperti kisah barusan ? 

nah akibat scroling tiktok, instagram dan facebook apalagi ngikuti live jualan di tiktok, sudah pasti dikemudian waktu dan hari, dia akan disuguhkan informasi, informasi yang relevan, alhasil, karena terus terusan diingetin, jiwa tak tahan, maka ambil keputusan membeli, padahal ga butuh! ingat menurut ahli, proses marketing sebetulnya adalah proses mengingatkan secara berulang sampai konsumen mengambil keputusan membeli. 

dengan informasi yang terus menerus kita ikuti, kita percaya maka secara alamiah otak kita akan terhipnotis, alam bawah sadar kita jadi gundah gulana jika belum memiliki barang tersebut, disinilah peran teknologi dan digital marketing berjalan, dan mulai memainkan psikologi seseorang. dan pada saat seperti itulah algogitma filter bubble sedang dijalankan dan akan terus berjalan. 

Mudah Benci dan Emosi
masih terkait ke algoritma filter bubble, ini di timbulkan karena echo chamber tadi diatas sudah dijelaskan definisi dari echo chamber, contoh sederhana deh, saat kita akan menghadapi pemilu pasti kita punya jagoan kan siapa yang akan maju dan diharapkan maju, sehingga terus kita follow deh saluran mendsos si calon tersebut, saben hari kita baca kegiatannya, semua berita kita ikuti, dan kita komentari sebagai bentuk dukungan kepada si calon. semua informasi yang kita terima dari si calon tersebut benar dan mantabs serta keren banget, fix gue percaya. itu kesimpulannya, maka alam bawah sadar kita secara otomatis kita merasa tidak perlu tahu informasi dari calon / kandidat lainnya. bila perlu kita blok, skip dan kita arsipkan kalo di wa, supaya kita ga usah liat deh, males, bikin emosi, sekalinya komentar sumpah serapah. bener ngga ?  pernah jadi pelaku seperti itu ? ngaku !

nah Ketika mereka sudah berada pada satu lingkup yang sama, maka hal tersebut sudah menjadi cikal bakal fenomena echo chamber.

Polarisasi Politik dan Dukungan
ini bahayanya akibat dari algoritma filter bubble dan echo chamber ternyata mampu membuat polarisasi politik dan dukungan, ini sudah terbukti, khususnya di Indonesia, betapa mudahnya masyarakat Indonesia untuk di hasut secara terus menerus, berulang ulang dengan berita yang sama dan entah kebenarannya. 
Ingat ! jangan salahkan para pengembang teknologi, karena tujuan mereka ! ingat ! tujuan mereka untuk kebaikan, ada istilah saat terjadi pembunuhan karena di tusuk pisau, bukan berarti pabrik pisau yang salah, begitupun dengan keberadaan teknologi. 

Ingat lagi... 1 tahun lagi kita menuju pemilu 2024, udahlah ga usah terjebak berita yang dimodifikasi oleh buzzer, jangan terlalu fantik, jangan menyebarluaskan berita yang memicu keributan, bijaklah dalam penggunaan medos dan teknologi. 

JADIIII sekarang, kalo ada sudah mulai terhipnotis diskon tiktok dan sebagainya, serta ada rasa emosi, iri dengki dan benci, ingat ! anda sedang terjebak dalam algoritma Filter Bubble dan kena Echo Cham ber, solusinya apa ? sejenak lepaskan dan matikan dulu hape, pergi berwudu, ibadah deh... banyak istigfar. 

sadar penulis bukan orang yang sempurna, jadi kita saling mengingatkan saja ya, tulisan sengaja dibuat nge pop biar ga boring bacanya, karena maklum, tingkat membaca Indonesia sudah paling rendah diantara bangsa bangsa lainnya... mengsedih ! 

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post